Senin, 24 April 2017

PENGADILAN PUISI



Taufiq Ismail : Harian kompas 4 september 1974 menyiarkan acara baca puisi di bandung, “selain pembacaan puisi juga akan diadakan pengadilan puisi,” tulis Kompas “yaitu penialaina terhadap puisi indonesia modern, yang di tulis oleh penyair-penyair kita.” acara di buka untuk umum.

Apa yang di maksud dengan Pengadilan Puisi Indonesia mutakhir itu. Rupanya kawan-kawan di Bandung ini ingin mencari suatu bentuk lain dalam membicarakan kesusastraan, dalam hal ini puisi. Bentuk seminar, simposium, diskusi panel dianggap menjemukan. Bagaimana kalau dicari suatu bentuk yang tidak menjemukan, lucu, tapi juga bersungguh-sungguh. Konon menurut gagasan Darmanto, bentuk oengadilan bisa memenuhi persyaratan.

Slamet Kirnanto dijadikan jaksa, Majelis hakim ada dua orang, yaitu Hakim Ketua Sanento Yuliman, di dampingi hakim Darmanto Jt. Sejumlah saksi sudah terpilih. “ bagaimana kalau Bung dan Sapardi jadi pembela?” tanya penyelenggara. Tetapi Sapardi tidak dapat hadir karna tidak enak badan.

Suatu pertanyaan lagi : dalam pengadilan ini berapa kadar bersungguh-sungguh dan berapa kadar berjenaka-jenaka? Orang hanya bisa menebak-nebak karna tidak tau persis. Dan tidak semua orang tidak bisa menerima sastra diperguraukan. Jadi bagaimana ? coba sajalah. Kalau berhasil syukur, kalau tidak, itu resiko. Karena Sapardi tidak datang kemudian di gantikan oleh Handrawan Nadesul. Pengadilan ini di hadirin sekitar 200 orang di Aula Universitas Parahyangan itu.

Slamet Kirnanto kemudian membuat tuntutan, dengan judul semangat Zola 76 tahun yang lalu “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!”.

Tuntutan berbunyi begini : pertama, para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan puisi mutakhir, khususnya HBJ dan MSH, harus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka meliki. Kedua, para editor majalah sastra khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicuti besarkan. (catatan : kenapa TI tidak, apakah canggung karna TI hadir sebagai pembela?) Ketiga, para penyair mapan seperti Subagio, Rendra, Goenawan, dan sebangsanya dilarang menulis puisi dan para epigonnya harus dikenakan hukum pembungan, kemudian inkarnasinya di buang pul ke pulau paling terpencil. Keempat dan terakhir, Horison dan Budaya Jaya harus di cabut SIT-nya dan yang sudah terbit selama ini nyatakan tidak berlaku, dan dilarang untuk di baca peminta sastra serta masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra dan puisi yang kita harapakan sehat dan wajar. Ini semua di dasarkan atas “Kutab Undang-undang Hukum Puisi”

Sebuah kursi kosong terletak di tengah ruangan pengadilan tempat duduk terdakwah yaitu : Puisi Mutakhir Indonesia. Para saksi-saksi silih beganti mendudukin kursi tersebut untuk memberi kesaksian. Barang kali ini mengandung perlambangan juga pada pengadilan itu : orang jadi lupa pada isi puisi itu sendiri, tapi lebih menyereweti serta bernyirnyir-nyinyir tentang orang-orangnya (penyair, kritikus, diri sendiri secara langsung atau tak langsung) dan tentang mediumnya.

Abdul Hadi mengatakan bahwa sastra Indonesia buruk, belum sebagus sastra Jawa Kuno. Sides beranggapan bahwa sesudah Chairil, tidak ada puisiditulis lagi di Indonesia. Saini kembali mengemukakan jalur persajakan Indonesia, di anatraanya yang paling nampak dewasa ini adalah jalur yang diciptakan Goenawan, disempurnakan Sapardi da diikuti Abdul Hadi. Atas pertanyaan pembela mengenai apa yang dinamakan “situasi brensek dan tidak jelas” dalam persajakan dewasa ini, Adri dan Yudhistira berpendapat bahwa “puisi Indonesia baik-baik dan sehat-sehat saja badannya”.

Vredi Kastam Marta, pengarang drama Syeh Sti Jenar merasa gusar karena dia capek -apek datang dari Sukabumi hanya untuk menonton “promosi murahan” ini, dan menganjurkan supaya hakim nanti sehabis acara “minta maaf kepada puisi Indonesia”. Rustandi Karta Kusuma menyebut pengadilan ini “permainan kana-kanak” dan sempat menyokong kesaksian Sides dengan berkata bahwa sudah pada tahun 1959 dia berpebdapat bawa sastra Indonesia sessudah Chairil, cuman Kitch. Hidayat LPD setuju oengadilan macam begini, menyokonh teori-Saini dan menjelaskan bahwa Abdul Hadi adalah penyair Epigon. (Abdul Hadi tidak menganggap ini bergurau dan dia dengan bergetar berteriak dan meyangkat berdiri menuding.) Sumartana mensinyalir bahwa dalam acara ini penyair onani bersama, berpuas-puas diri. Puisi sekarang tidak ada, yang ada hanyalah rangkaina kata. Dami N. Toda mengemukakan gejala epigonisme “universal”. Pembela menolak keempat diktum tuduhan jaksa dengan uraian penjang ebar dalam semangat pembelaan pengadilan plonco-plonci calon mahasiswa.

Sidang dihentikan sejenak untuk para hakim menyusun keputusan dengan mengindahkan Kitab Undang-undang Hukum Puisi, mempertimbangkan Hukum Adat serta membaca Cerita Adar.

Hakim Darmanto menolak semua tuntutan jaksa. Diputuskan pula bahwa PUisi Mutakhir Indonesia memang asa, cuman belum berkembang. Bunyi keputusan :

Pertama, para kritikus sastra tetap di izinkan untuk menulis dan mengembangkan kegiatan serta meneruskan eksistensinya, dengan catatan harus segera mengikuti kursus penaikan mutu dalam Sekolah Kritikus Sastra, yang akan segera didirikan.
Kedua, para redaktur Horszon tetap di izinkan terus memegang jabatan mereka, selama mereka tidak merasa malu. Bila dihendaki sendiri, mereka boleh mengundurkan sendiri.
Ketiga, para penyair mapan, Established, masih diberi peluang untuk berkambang terus. Begitu juga para penyair epigon dan inkarnatif, boleh menulis terus dengan keharusan segara masuk kedalam Panti Asuhan atau Rmah Perawatan Epigon.
Keempat, majalah sastra Horison tidak perlu dicabut Surat izin Cetak dan Surat izin Terbitnya, hanya di belakang nama lama harus di beri embel-embel kata “Baru”, sehinga menjadi Horison Bar. Masyarakat luas tetap mendapatkan izin membaca satra dan membaca puisi.

TIGA BElAS hari kemudian, di Teater Fakultas Sastra Universitas Indonesia diadakan suatu majelis dengan judul “Jawaban Atas Pengadilan Puisi”. Acara 21 September 1974 itu di selenggarakan Senat Mahasiswa FSUI. Maka lebih tetap sebenarnya acara Rawamangun itu di ubah judulnya “Jawaban Atas Pengadilan Puisi”tetapi “Jawaban Marah Terhadapa Slamet Kirnanto”. Aneh pula, Slamet Kirnanto minta maaf di Rawamangun.

Slamet Kirnanto : Kepada majelis peradilan sekarang ini saya akan menyampaikan sebuah karikatur yang menggambarkan betapa makin tidak sehatnya ruang kehidupan sasra Indonesia khususnya kehidupan puisi Indonesua, yang menurut pengamatan saya selama ini mengalami semacam polusi dan bahkan manipulasi-manipulasi sehingga menyebabkan sesak tidak sehat, tidak jelas dan sekaliannya jadi brengsek !.

Harry Avelung dalam ceramahnya di Malaysia pernah menyatakan begini: “Percobaan Danarto dan Sutardji Calzoum Bachri emn=ang tidak memuaskan segala lapisan pembaca sastra Indonesia..... aling minimal, keduanya menentukan cara dan pokok menulis yang sudah biasa bagi penulis Indonesia. Adanya masa transisi berarti bahaya pola-pola tiadka lagi memuaskan walaupun pola belum bditetapkan dengan terang. Data kedua-duanya sedang menolong mencarikan jalan baru, jalan ke bawah sadar, yang mempercayai kekuatan perkataan dan keindahan manusia hancur, manusia yang hidup dengan syahwatnya, kesengsaraannya, kematiannya, yang oercaya manusia sendiri Tuhan.”

Sungguh sangat aneh dalam negeri sendiri orang tidak menyadari tentang munculnya gelaja dan kecendrungan-kencerungan baru itu. M.S. Hutagalung, seorang dosen kesusastraan FSUI (meskipun bidangnya kesusastraan dan dikenal sebagai “Kritikus sasra” lantaran rajin dan banyaknya ulasan yang sudah di umumkan baik dalam bentuk bsejumlah buku maupun tulisan yang tersear luas dalam berbagai media majalah dan koran).

Menurut Hutagalung, puncak keberhasilan Subagio adalah sajak “Dab Krmatian Semakin Akrab” dimana kekurangannya dalam kekuatan emosional cukup terpenuhi. Dalam kesempatan itu H.B. Jassin naik pitam menolak keputusan bekas anak didiknya itu. Menurut kritikus kawakan ini, penyair yang terkemuka di Indonesia sekarang ini adalah W.S. Rendra. H.B. Jassin menjatuhkan pilihan pada nomor W.S. Rendra sebgaai penyair terbesar saat ini dengan alasan : Rendra berhasil menggambarkan gagasan-gagasan yang dalam, lekuk-liku kejiwaan yang sulit diraba dan pikiran-pikiran yang tinggi degan kata-kata sederhana dari kehidupn sehari-sehari dan imaji-imaji yang kongkret.

Dari pembacaan saya pada sajak-sajak penyair muda yang tersebar luas di luar Horison dan Budaya Jaya, nampak adanya hasrat, pengamatan, gambaran tentang kehadiran manusiawi, angan-anagan, tempat berpijak dan kadang-kadang behasi menjelajahi yang mistis. Puisi-puisi seperti ini mempunyai kecenderungan-kecendrungan yang nontematis karena penyair tidak hendak berdiri sendiri dibelakang ide-ide atau pesan-pesan. Ini menimbulkan semacam efek tertentu, jangkauan angan-angan dan kekayaan pengalaman batinnya. Pengalaman batin penyair-penyair muda saat ini peastilah berbeda dengan rasa hidup yang tumbuh pada diri sendiri.

H. B. Jassin : dalam pengadilan Puisi ini sudah sewjarnya dihadirkan juga para oenyair dan para kritikus untuk mempertanggung jawabkan apa yang disebut sebagai dosa-dosanya. Mengadili para penyair dan para kritikus in absentia, sedangkan merek tidak melarikan diri dan masih berada di dalam negeri, adalah suatu kelalaian yang tidak boleh terjadi dalam prosedur pengadilan di negeri mana pun yang menghomati keadilan. Yang dijadili in babsentia itu adalah Goenawan Mohammad, sapardi Djoko Damono dan menurut kabar yang di samapaikan secara lisan, juga Subagio Sastrowardoyo dan W.S. Rendra.

Dalam perkembangan kritik sastra di indonesia kita telah mengalami bebrapa fase. Dimana sebelum perang, kita hanya mengenal kritik sastra impresionistis yang tidak didasari  oleh pengetahuan ilmiah tentang kesusastraan, paling-paling hanya sekedar pengetahuan elementer untuk keerluan pengajaran di sekolah menengah. Corak kritik sastra semacam ini berlanjut sampai beberapa tahun sesudah Kemerdekaan, sampai dalam tahun 1950-an Universitas Indonesia mulai menghasilkan penyelidikan-penyelidikan yang terlatih dalam disiplin ilmiah. Larilah dalam dunia kritik sastra kita apa yang dapat disebut kritik sastra akadinamis.

M. S. Hutagalung : pertama-pertama saya telah biasa mendengar pelbagai macam pertanyataan, statement yang terlalu umum dan hampir tidak ada artinya karena serting tidak didukung oleh arguentsi dan pembuktian-pembuktian seperti misalnya : tak ada puisi setelah Chairil Anwar, kritikus Indonesia tidak ada, H.B. Jassin bukan seorang kritikus dan banyak lagi, tetapi tanpa keterangan dan kejelasan. Tentu saja pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak ada artinya. Pernyataan itu sama saja dengan pernyataan yang lain : sebenarnya pengarang di Indonesia, bahkan juga pertanyataan: sebenarnya tidak ada prang atau manusia di Indonesia dan ucapan-ucapan eksrim lainnya.

Saya beranggapan bahwa kritikus yang akan disenangin oelh semua pengarang adalah justru kritikus yang hanya menyanjung-nyanjung semua pengarang. Saya kira, dalam sitiasi seni kita dewasa ini, kita perlu bertanya mengenai fungsi/hakikat sastra untuk kita. Kala kita sadar menganai panggilan zaman kita, kita tak perlu memajukan sajak-sajak yang hany bersifat pemuasan kebebasan khayal pribadi, yang hanya berguna bagi pengarangnya atau beberapa orang di sekelilingnya.


Goenawan Mohamad : Harus diakui, ii hasil akal bagus untuk mengadakan diskusi puisi dengan cara baru. Cara yang lama mungkin dianggap membosankan atau kurang daya tarik. Saya tak bicara tentang penyair yang ketagihan kelpok para kritikus yang memandang penyair sebagai semacam barang konsumsi modern, dan selalu bertanya : ada yang baru, mas ? secara kebetulan, itu pun pertanyaan para langganan tempat pelacuran.

Dalam setiap pencipataan seseorang penyair selamanya ingin melahirkan sesuatu yang sama sekali belum pernah di lahirkannnya. Tapi pada suatu momen ia nanti bisa tersadar bahwa ada sejarah, ada takdur, ada ingatan-ingatan yang melekat. Maka apabila penyair bisa terus-menerus menarik dan memperkaya kita, para penyait sebaliknya bisa menjemukan.

Sekali lagi, toko kita adalah puisi, bukan penyair, yang kita butuhkan adalah puisi yang berharga hingga lebih baik seorang penyair berhenti menulis daripada ia memaksakan diri kasih unjuk tenaganya tapi cuman menghasilkan ampas. Yang paling repot mempermasalahkan kemandegan biasanya justru mereka yang takit kemandegan diri sendiri.

Sapardi Djoko Damono : barangalu bahwa puisi akan mempu membela dirinya senidri, sebab ia adalah bentuk sastra yang paling sulit di larang, ditekan atau dihambat perkembanannya. Apalagi kalau ia sudah jadi beraneka ragam, seperti puisi kita dewasa ini. Dan karen beraneka ragam, ia menjadi penyebab “pertengkaran”. lebih-lebih lagi para penyair adalah jenis manusia yang senang bertengkar. Saya menggangap “Pengadilan Puisi”ndi Bandung itu suatu cara bertengkar yang unik, meskipun bisa juga dianggap sebagai puncak perkembangan “sastra mulut”.

Kecuali tuntutan di buntut naskah itu, saya menilai keseluruhan naskah Slamret Kirnanto itu sebagai sungguh-sungguh, artinya : penulisannya tidak berkhendak membadut, ia mencoba menumbangkan para kritikus , penyair dan majalah sastra yang sudah banyak di kenal, dan kemudian menobarkan Darmanto Jt dan Sutardji Calzoum Bachri (bukakah kedua penyair ini sudah kita kenal juga ?) menjadi raja.

Darmanto Jt : Pada mulanya kita lihat, alangkah sulit penyair indonesia keluar dari bayang-bayang sang penyair : Chairil Anwar. Sitor Itumorang, W.S. Rendra suram di bawah bayangannya. Sajak-sajak sosial Taufiq Ismail, W. S. Rendra dan seterusnya. Para kedunya kita saksikan, betapa malang kritikus sastra kita H. B Jassin, yng sering dibilang terlalu mau mendidik dengan selalu beri senyum pada tiap akademisi, terlalu analistis.

Jadi, apa salahnya kita minta pengadilan untuk puisi, pertama-tama, tentu saja untuk mensahkan hak pusis Indonesia. Ini sangat penting, sebab dengan demikin penyair-penyair sudak tidak lagi dikejar-kejar petanyaan tuntutan. Kemudian yang kedua, ini penting, sebab demikian penyair-penyair akan mengerti mana yang boelh di rulis atau di puisikan dan mana yang tidak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar